Sumber Potensi Tsunami Selat Sunda: Krakatau, Graben, Megathrust

Jakarta - Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyampaikan perihal potensi terjadinya tsunami di kawasan Selat Sunda. BMKG mengidentifikasi tiga sumbernya, yakni Gunung Anak Krakatau, Zona Graben, dan Zona Megathrust.
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono menjelaskan, sebenarnya potensi terjadinya tsunami tak hanya ada di Selat Sunda. Namun karena belum lama ini terjadi tsunami di kawasan Selat Sunda, yakni 22 Desember 2018 lalu, maka BMKG merasa perlu untuk memberikan pemaparan terkait potensi tsunami di Selat Sunda.
"Kita mengidentifikasi semuanya supaya pemerintah daerah khususnya dan masyarakat turut waspada. Hanya saja di Selat Sunda jelas, sudah terbukti ada ancaman di sana, bahkan sejak 1883 terjadi tsunami luar biasa," kata Rahmat kepada detikcom, Minggu (13/1/2018).
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono menjelaskan, sebenarnya potensi terjadinya tsunami tak hanya ada di Selat Sunda. Namun karena belum lama ini terjadi tsunami di kawasan Selat Sunda, yakni 22 Desember 2018 lalu, maka BMKG merasa perlu untuk memberikan pemaparan terkait potensi tsunami di Selat Sunda.
"Kita mengidentifikasi semuanya supaya pemerintah daerah khususnya dan masyarakat turut waspada. Hanya saja di Selat Sunda jelas, sudah terbukti ada ancaman di sana, bahkan sejak 1883 terjadi tsunami luar biasa," kata Rahmat kepada detikcom, Minggu (13/1/2018).
Sumber potensial tsunami yang pertama, Gunung Anak Krakatau. Material longsor gunung ini mengakibatkan tsunami pada 22 Desember lalu. Namun kini, material itu sudah rontok, kecil kemungkinan terjadi peristiwa serupa itu lagi.
"Material yang memicu tsunaminya sudah rontok dan masuk ke laut, sehingga material yang bisa memicu tsunami sudah tak ada lagi. Artinya, potensi itu sudah berkurang," kata Rahmat.
Meski begitu, Gunung Anak Krakatau masih aktif, erupsi bisa terjadi. Tak hanya longsor saja yang bisa mengakibatkan tsunami, namun erupsi juga bisa mengakibatkan tsunami. "Artinya di sini juga masih perlu diwaspadai," kata dia.
Kedua, zona graben. Graben adalah istilah ilmiah untuk menyebut hasil dari patahan kulit bumi, terletak di antara dua bagian yang lebih tinggi. Bila dilihat, zona graben berbentuk seperti cekungan yang dibatasi tebing.
"Di barat daya Krakatau ada zona graben. Para pakar menyatakan zona itu berpotensi longsor. Diprediksi, bila ada gempa kemudian zona graben longsor, maka tsunami bisa terjadi," kata dia.
Ketiga, Megathrust. Ada lempeng aktif besar yang merentang 5.500 km dari Myanmar melewati pantai barat Sumatera hingga selatan Bali. Lempeng tektonik itu disebut Sunda Megathrust. Zona subsduksi Selat Sunda itu juga ada di sekitar Selat Sunda.
"Kurang lebih jaraknya 250 km dari Ujung Kulon, sumber gempa berada di situ, berpotensi menimbulkan gempa bermagnitudo kuat," kata Rahmat.
Besar kecilnya tsunami dipengarui oleh besar kecilnya gempa dan kedalaman pusat gempa. Bukannya bermaksud menakut-nakuti, Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga pernah membuat permodelan yang menunjukkan potensi tsunami 57 meter di Kabupaten Pandeglang. Namun demikian, potensi bukan berarti akan terjadi. Itu semua adalah permodelan saintifik.
"Yang kemarin bikin heboh, yang '57 meter' itu sumbernya adalah subsduksi di selatan Selat Sunda itu. Tapi belum tentu itu terjadi, karena skenario permodelannya banyak," kata Rahmat.

Mulai tahun 1927 muncul Gunung Anak Krakatau. Gunung berapi ini juga cukup aktif (Foto: dok. detikcom)
Kondisi Gunung Anak Krakatau usai erupsi hingga menyebabkan terjadinya tsunami di pesisir Banten dan Lampung (Foto: Planet Labs)
Tangkuban Perahu. ANTARA/Irwansyah Putra
Wisatawan berada di sekitar lokasi wisata kawah Sikidang kawasan dataran tinggi Dieng Karang Tengah, Batur, Banjarnegara, Jateng, 15 September 2017. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi telah menaikkan status Kawah Sileri dari normal (Level I) menjadi waspada (Level II). ANTARA/Anis Efizudin
Suasana Gunung Salak yang tertutup oleh awan di kawasan Bogor, Jawa Barat. Tempo/Aditia Noviansyah
Lava pijar dari Gunung Anak Krakatau di perairan Selat Sunda, Kalianda, Lampung Selatan, Kamis, 19 Juli 2018. Untuk gempa vulkanik dangkal tercatat 38 kali dengan amplitudo 3-30 mm dan durasi 5-15 detik. Lalu gempa vulkanik dua kali dengan amplitudo 29-30 mm, S-P 1-1,5 detik, dan durasi 10-20 detik. ANTARA FOTO/Elshinta
Gunung Soputan mengeluarkan abu vulkanik hingga 7,5 km saat erupsi pada 16 Desember 2018. twitter.com/Sutopo_PN