Senin, 14 Januari 2019

MAM NEWS

Sumber Potensi Tsunami Selat Sunda: Krakatau, Graben, Megathrust

Sumber Potensi Tsunami Selat Sunda: Krakatau, Graben, Megathrust


Jakarta - Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyampaikan perihal potensi terjadinya tsunami di kawasan Selat Sunda. BMKG mengidentifikasi tiga sumbernya, yakni Gunung Anak Krakatau, Zona Graben, dan Zona Megathrust.

Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono menjelaskan, sebenarnya potensi terjadinya tsunami tak hanya ada di Selat Sunda. Namun karena belum lama ini terjadi tsunami di kawasan Selat Sunda, yakni 22 Desember 2018 lalu, maka BMKG merasa perlu untuk memberikan pemaparan terkait potensi tsunami di Selat Sunda.

"Kita mengidentifikasi semuanya supaya pemerintah daerah khususnya dan masyarakat turut waspada. Hanya saja di Selat Sunda jelas, sudah terbukti ada ancaman di sana, bahkan sejak 1883 terjadi tsunami luar biasa," kata Rahmat kepada detikcom, Minggu (13/1/2018).


Sumber potensial tsunami yang pertama, Gunung Anak Krakatau. Material longsor gunung ini mengakibatkan tsunami pada 22 Desember lalu. Namun kini, material itu sudah rontok, kecil kemungkinan terjadi peristiwa serupa itu lagi.

"Material yang memicu tsunaminya sudah rontok dan masuk ke laut, sehingga material yang bisa memicu tsunami sudah tak ada lagi. Artinya, potensi itu sudah berkurang," kata Rahmat.

Meski begitu, Gunung Anak Krakatau masih aktif, erupsi bisa terjadi. Tak hanya longsor saja yang bisa mengakibatkan tsunami, namun erupsi juga bisa mengakibatkan tsunami. "Artinya di sini juga masih perlu diwaspadai," kata dia.

Kedua, zona graben. Graben adalah istilah ilmiah untuk menyebut hasil dari patahan kulit bumi, terletak di antara dua bagian yang lebih tinggi. Bila dilihat, zona graben berbentuk seperti cekungan yang dibatasi tebing. 



"Di barat daya Krakatau ada zona graben. Para pakar menyatakan zona itu berpotensi longsor. Diprediksi, bila ada gempa kemudian zona graben longsor, maka tsunami bisa terjadi," kata dia.

Ketiga, Megathrust. Ada lempeng aktif besar yang merentang 5.500 km dari Myanmar melewati pantai barat Sumatera hingga selatan Bali. Lempeng tektonik itu disebut Sunda Megathrust. Zona subsduksi Selat Sunda itu juga ada di sekitar Selat Sunda.

"Kurang lebih jaraknya 250 km dari Ujung Kulon, sumber gempa berada di situ, berpotensi menimbulkan gempa bermagnitudo kuat," kata Rahmat.



Besar kecilnya tsunami dipengarui oleh besar kecilnya gempa dan kedalaman pusat gempa. Bukannya bermaksud menakut-nakuti, Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga pernah membuat permodelan yang menunjukkan potensi tsunami 57 meter di Kabupaten Pandeglang. Namun demikian, potensi bukan berarti akan terjadi. Itu semua adalah permodelan saintifik.

"Yang kemarin bikin heboh, yang '57 meter' itu sumbernya adalah subsduksi di selatan Selat Sunda itu. Tapi belum tentu itu terjadi, karena skenario permodelannya banyak," kata Rahmat. 

Senin, 07 Januari 2019

MAM NEWS

Kisah 3 Bulan Mencekam Sebelum Krakatau Meletus pada 1883

Kisah 3 Bulan Mencekam Sebelum Krakatau Meletus pada 1883


erang - Malam petugas kontrolir Belanda Willem Beyerinck di Ketimbang terganggu akibat getaran keras di bawah kakinya. Hari itu, 13 Mei 1883, getaran gempa misterius tiba-tiba dirasakan terus-menerus. Ia kaget lalu mengirimkan telegram rahasia ke atasannya di Residen Lampung.

Beberapa hari sebelumnya, tengah malam pada Kamis 10 Mei, seorang penjaga mercusuar di Selat Sunda, waktu itu disebut First Point, juga melaporkan adanya getaran keras. Fondasi mercusuar seakan berpindah dan laut memutih seakan membeku.


Telegram kontrolir Beyerinck ini jadi laporan pertama seorang pegawai Hindia Belanda bagaimana Krakatau akan mengguncang dunia akibat letusan hebat di Agustus 1883.

Tapi selain kontrolir Beyerinck, rupanya 10 kapal yang berlayar di Selat Sunda jadi saksi mata fase awal Krakatau meletus. Sepanjang tiga bulan pertama itu, digambarkan sebagai lepasnya rantai gerbang neraka oleh Simon Winchester dalam buku Krakatoa, The Day the World Exploded: August 27, 1883 dan diterjemahkan oleh Serambi pada 2006.

Salah satunya kapal Elisabeth dari Jerman yang dikomandoi Hollman yang singgah di Anyer. Dari anjungannya ia memandang Krakatau yang waktu itu memiliki tinggi 2.625 mdpl. Ia mengatakan, awan kumulus putih naik cepat ke langit dan nyaris vertikal dengan ketinggian 11.000 meter.

Mulai tahun 1927 muncul Gunung Anak KrakatauMulai tahun 1927 muncul Gunung Anak Krakatau. Gunung berapi ini juga cukup aktif (Foto: dok. detikcom)


"Di situ ia mulai menyebar seperti sebuah payung, sehingga tak lama kemudian hanya sebagian dari langit biru itu yang tampak di cakrawala. Sekitar pukul empat sore angin mulai bertiup dari arah selatan tenggara, membawa debu halus sampai seluruh kapal tertutup lapisan debu kelabu yang halus dan merata," tulis Simon Winchester sebagaimana dikutip detikcom.

Bukan hanya kapal Elisabet, beberapa kapal yang berada di Selat Sunda banyak melaporkan fenomena awal Krakatau meletus. Ada laporan kapal Actaea dari Inggris yang 80 mil (128,7 km) jauhnya di sebelah barat Krakatau yang tertutup debu halus.

Juga kapal pembawa pos Belanda bernama Zeeland yang jaraknya hanya 5 mil (8 km) lebih dekat dari lokasi letusan. Sang nakhoda kapal ini, Kapten MacKenzie bahkan mendengar suara letusan bergulung-gulung yang memekakkan telinga seperti rentetan suara meriam. Kompas di kapalnya hanya berputar karena arus magnetis yang tak menentu arah.


Di Batavia, JP van der Stok seorang Direktur Observatori Meterologis dan Magnetik juga dikagetkan oleh jarum dan pena di atas alat deklinometer magnetik bergetar dan mengetuk-ketuk dengan hebat. Getaran dan gelegar berduyun-duyun mirip meriam kemudian diidentifikasi sebagai letusan gunung berapi. Warga Batavia panik, mereka was-was atas suara ledakan terus-menerus itu.

Atas kepanikan itu, Gubernur Jenderal memerintahkan Kepala Residen Lampung Mr Altheer untuk menyelidiki penyebab suara ledakan gunung berapi. Dibantu kontrolir Beyerinck ia kemudian berangkat menuju titik terdekat Krakatau.

Tapi untuk sampai sana, keduanya membutuhkan waktu 4 jam sebelum melihat garis pantai Krakatau. Di sepanjang perjalanan melewati Sebesi dan Sebuku mereka diguyur ombak besar penuh batu apung dan pohon hangus. Nafas mereka pun sesak karena guyuran hujan abu.


Kondisi Gunung Anak Krakatau usai erupsi hingga menyebabkan terjadinya tsunami di pesisir Banten dan LampungKondisi Gunung Anak Krakatau usai erupsi hingga menyebabkan terjadinya tsunami di pesisir Banten dan Lampung (Foto: Planet Labs)

Pandangan keduanya kemudian terbelalak begitu melihat garis pantai Krakatau. Puncak gunungnya berkobar mengeluarkan api dan asap. Dentuman seperti suara meriam tak berhenti dan menjadi semakin kuat menambah suasana ngeri dan mencekam. Keduanya kemudian pulang ke Ketimbang untuk segera melaporkan pesan melalui mesin telegraf ke Gubernur Jenderal.

"Api yang berkobar-kobar, semburan api, batu-batu mengapung yang disapu ombak, hujan abu tanpa henti. Suara yang tak diragukan lagi adalah sebuah letusan yang sangat mencekam dan mengerikan...," tulisnya.


Dan tak lama kemudian, informasi awal meledaknya Krakatau tersebar ke dunia barat. The Times pada Kamis 24 Mei 1883 di halaman 12 menulis sebuah pengumuman letusan vulkanik Krakatau di bawah sebuah berita kriminal di London. Di situ tertulis:

"Letusan Vulkanik. Telegram Lloydd's Agent di Batavia, tertanggal 23 Mei: "Letusan Vulkanik kuat, Pulau Krakatowa, Selat Sunda." katanya.


Tapi, letusan yang terlanjur mendunia ini rupanya bukan yang terakhir. Pada 24 Juni juga ada laporan Krakatau meletus kembali. Sampai akhirnnya, pada 11 Agustus, ada seorang kapten Belanda bernama HJG Ferzenaar jadi orang yang terakhir menapaki Krakatau untuk keperluan topografi militer. Ia tercatat sebagai orang terakhir sebelum Krakatau hancur akibat ledakan mahadahsyat pada di 27 Agustus pukul 10.02 pagi.

"Dua minggu dan satu hari kemudian, sebagian besar dari pulau yang baru saja ia gambar itu mendadak meledak. Miliaran ton batuan menjadi uap dan menghilang di permukaan bumi untuk selamanya," tulisnya.
(bri/jbr)

MAM NEWS

Karakter 5 Gunung Berapi di Indonesia: Meletus Nyaris Tanpa Tanda
Gunung Tangkuban Parahu. ANTARA/Fahrul Jayadiputra
TEMPO.COBandung - Kepala Sub-Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat, Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Kristianto, mengingatkan sejumlah bahaya gunung berapiaktif yang mesti diwaspadai. Sejumlah gunung, misalnya, mengeluarkan letusan nyaris tanda tanda-tanda.

"Bukan tidak ada prekursor (gejala awal), tapi prekursornya pendek. Tidak terlalu signifikan," kata Kristianto, Selasa, 18 Desember 2018. Kris mengatakan sejumlah gunung api mempunyai karakteristik demikian.
Salah satunya Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung Papandayan. "Contoh di Gunung Tangkuban Parahu tahun 2013, beberapa kali terjadi letusan freatik yang tidak didahului oleh prekursor signifikan. Untungnya terjadi subuh, waktu itu terjadi dua kali, subuh dan malam hari," kata dia.
1. Gunung Tangkuban Parahu
Tangkuban Perahu. ANTARA/Irwansyah Putra
Saat itu, letusan freatik sempat menghasilkan lontaran material yang jatuh di sekitar kawah Gunung Tangkubanparahu. "Bisa dibayangkan kalau terjadi siang hari, mungkin akan menimbulkan kepanikan dan mungkin ada yang terkena lontaran tersebut. Umumnya material yang dilontarkan akibat letusan freatik tidak panas, tapi yang namanya kepanikan malah akan menimbulkan masalah baru," kata dia.
Untuk mengantisipasi kepanikan yang timbul dari warga saat terjadi letusan gunung berapi, Kris dan timnya sudah melakukan komunikasi antara pengelola tempat wisata. "Pengataman di pos jaga juga kami intensifkan," ujarnya. Gunung api lainnya dengan karakteristik hampir sama, yakni Papandayan.
2. Dataran Tinggi Dieng
Wisatawan berada di sekitar lokasi wisata kawah Sikidang kawasan dataran tinggi Dieng Karang Tengah, Batur, Banjarnegara, Jateng, 15 September 2017. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi telah menaikkan status Kawah Sileri dari normal (Level I) menjadi waspada (Level II). ANTARA/Anis Efizudin
Sedangkan Gunung Dieng, kata dia, punya karakteristik berbeda. Di salah satu kawahnya, yakni Kawah Sileri kerap terjadi letusan freatik berupa semburan lumpur panas. PVMBG sudah meminta pengelola agar mengantisipasi dengan melarang pengunjung agar tidak mendekat dalam radius 200 meter dari kawah tersebut. "Kalau Kawah Timbang memang tidak boleh masuk karena mengandung gas beracun," kata dia.
3. Gunung Salak
Suasana Gunung Salak yang tertutup oleh awan di kawasan Bogor, Jawa Barat. Tempo/Aditia Noviansyah
Berbeda halnya dengan Gunung Salak. "Terutama pada pengumpulan gas beracun yang harus diwaspadai. Pada saat cuaca mendung atau hujan, jangan sekalipun masuk ke kawahnya. Ancaman bahaya ini sudah disampaikan pada pengelola," kata Kris.
4. Gunung Anak Krakatau
Lava pijar dari Gunung Anak Krakatau di perairan Selat Sunda, Kalianda, Lampung Selatan, Kamis, 19 Juli 2018. Untuk gempa vulkanik dangkal tercatat 38 kali dengan amplitudo 3-30 mm dan durasi 5-15 detik. Lalu gempa vulkanik dua kali dengan amplitudo 29-30 mm, S-P 1-1,5 detik, dan durasi 10-20 detik. ANTARA FOTO/Elshinta
Gunung Anak Krakatau, yang sering menarik perhatian wisatawan, juga mempunyai karakteristik bahaya lain. Ancaman bahaya letusan hingga aliran material pijar dari kawahnya. "Radius amannya 2 kilometer. Tadinya radiusnya 1 kilometer, masih ada wilayah yang bisa dimasuki dalam areal pulau Karakatau," kata Kris.
Kris mengatakan, dengan peningkatan aktivitas saat ini, pengunjung dilarang mendarat di Pulau Gunung Anak Krakatau. "Kami rekomendasikan untuk tidak mengunjungi sekitar Krakatau dalam radius 2 kilometer terutama untuk wisatawan. Tidak boleh mendarat karena kalau mendarat itu sudah masuk dalam radius 2 kilometer," kata dia.
ADVERTISEMENT5. Gunung Soputan
Gunung Soputan mengeluarkan abu vulkanik hingga 7,5 km saat erupsi pada 16 Desember 2018. twitter.com/Sutopo_PN
Gunung Soputan saat ini memasuki fase erupsi kedua. Fase pertama tahun ini, kata Kris, terjadi pada Oktober lalu. Kendati aktivitas kegempaan menunjukkan gejala penurunan, tapi PVMBG masih melarang warga mendekat dalam radius 4 kilometer dari kawah itu, dan khusus arah barat daya sejauh 6,5 kilometer. "Kalau barat daya itu arah bukaan kawahnya, mengantisipasi kalau terjadi awan panas," kata dia.
Kris mengatakan, letusan Soputan biasanya terjadi dalam periode yang tidak terlalu lama. "Biasanya seminggu sampai dua minggu, setelah itu mengalmai penurunan aktivitas," kata dia.
Kris mengatakan, saat ini ada 20 gunung api di Indonesia yang aktivitasnya di atas Normal. "Satu di antaranya berstatus Awas, 2 Siaga, dan 17 sisanya Waspada. Yang Awas itu Gunung Sinabung dan Siaga itu Gunung Agung dan Gunung Soputan," kata dia.
Simak artikel menarik lainnya seputar gunung berapi di Indonesia hanya di kanal 

Cerita Dongeng Hewan Nenek Tupai Yang Sakit Di sebuah hutan, tinggallah Nenek Tupai yang sangat di sayangi oleh seluruh penghuni hutan. ...