Kota juwana identik dengan TUGU JUWANA dan asal mulanya
Sejarah
Kepulauan Indonesia umumnya dan Tanah Jawa khususnya, ditemukan dari
beberapa sumber yang agak berlainan satu dengan yang lain.Menurut
keterangan yang didapat dalam Kitab Djojobojo, sebagian Tanah Jawa
tadinya adalah sebuah pulau kosong yang angker dan sangar, dimana sama
sekali belum ada penduduk manusianya.
Sementara
menurut sejarah yang berdasarkan atas pendidikan, bahwa antara 2000
tahun yang telah lampau dipulau ini sudah ada penduduk aslinya, hanya
pikiran mereka belum terbuka, hingga masih merupakan orang purba yang
belum mengerti tata susila, belum mengerti caranya membuat rumah dan
belum mempunyai tempat tinggal yang tetap. Mereka masih menggunakan batu
yang dipertajam guna senjata untuk memburu maupun untuk
berkelahi.Hidupnya adalah sangat sederhana dan selalu pindah
kesana-kemari, hingga agak mirip dengan hidupnya burung atau yang
didalam Kitab Djojobojo dikatakan Zman Kukilo.Lain sumber juga
mengatakan, bahwa pada zaman Chun Ch’lu, antara 500 – 600 tahun sebelum
Christus, Tiongkok berada didalam keadaan yang luar biasa kacaunya.
Mulai dari Ping Wang tahun ke 49 sehingga Chin Wang tahun ke 39, yang
sama sekali meminta tempo 242 tahun. Api peperangan yang mendasyat
senantiasa menimpa Tionkok hingga rakyatnya merasa hidup dalam terror.
Oleh
karena itu beberapa kelompok orang-orang disana berduyun-duyun menuju
ke Tjempa. Ditempat inipun mereka merasa tidak aman karena gangguan
terrorisme dari “The Reign of Terror” dilain pihak, maka mereka
berduyun-duyung bersama menaiki perahu Djong untuk menuju keselatan
dengan pikiran nekat dan kepercayaan mantap bahwa akhirnya mesti
mendapat tempat guna berlindung. Demikianlah akhirnya diantara ribuah
perahu Djong tadi sebagian ada yang mendarat di Philipina, sebagian ada
yang mendarat di Borneo, Malay Peninsula, Sumatera dan sebagian pula
ada yang mendarat di Pulau Jawa dan Pulau Bali.Di tempat-tempat
tersebut, mereka segera tercocok tanam dan beternak, akan tetapi lambat
lain pakaian mereka telah habis rusak, hingga terpaksa cara berpakaian
mereka seperti pada waktu zaman purba di Tiongkok, sehingga setelah
ditemukan kapas dan randu kapok di hutan-hutan yang mereka jadikan
benang, barulah mereka dapat membuat alat tenun yang primitive sekali
guna menenun dengan cara amat sederhana.Menurut sumber itu, diterangkan
juga bahwa asal-usul penduduk Tanah Jawa memang sebagian dari Hindu
dan sebagian pula dari Tiongkok.
Untuk
membuktikan kebenarannya, kita dapat membedakan antara penduduk asli
dikepulauan Indonesia umumnya terdiri dari sua type yaitu disatu fihak
typenya Hindustania, kulitnya agak hitam jengat / sawo matang dengan
matanya tidak sipit; tetapi dilain tempat tidak sedikit yang berkulit
kuning langsat, matanya agak sipit, banyak mirip atau malah 100% seperti
orang Tionghoa, hingga dalam masyrakat tidak jarang terjadi diantara
orang Indonesia sendiri menyangka bahwa orang yang berhadapan dengan
dirinya itu dikira orang Tionghoa. Hanya model pakaianya atau gigi
pangur saja yang digunakan sebagai tanda guna membedakannya.Pada zaman
itu Tanah Jawa diselumbungi udara Animisme begitu rupa.
Banyak
orang suka memuja apa yang dipandangnya suci, suka sekali perihatin
untuk menjalani ilmu-ilmu gaib dan kuat bertapa yang mempunyai pengaruh
begitu mujizad.Misalnya walaupun justru udara bersih, matahari bersinar
terang gelang-gemilang di atas angkasa yang biru, tetapi tiba-tiba
datang seorang yang telah dipuncak pertapaannya, setelah berdiri
dibawahnya sinar matahari sambil mencakupkan kedua tangannya dan berdoa
sambil kedua matanya dimeramkan dan mendongkakan kepalanya, maka tidak
lama kemudian awan mendung sekoyong-koyong bergulung-gulung begitu
tebal dan sebentar pula hujan turun dibarengi suara angin menderu dan
suara petir menyambar-nyambar kian kemari, hingga seolah-olah dunia
sedang kiamat.
Demikianlah
apa yang dikejar orang dalam jaman itu adalah “kedikjayaan”, sedang
hal kemajuan lahir atau kekayaan lahir sama sekali tidak dimengerti.
Masa itu Tanah Jawa merupakan suatu pulau yang amat kaya raya dengan
kekayaan alam, yang sangat menarik perhatiannya perantau-perantau bansa
Hindu, hingga kemudian berduyun-duyun datang kemari untuk berdagang
dan untuk Bantu membuka pikiran rakyat yang masih diliputi oleh alam
gelap, dan memimpin mereka untuk bercocok tanam, pertanian dan
peternakan, sampai pula pada pemerintahan.Oleh karenanya maka
pengaruhnya kesopanan dan kebudayaan Hndu di Indonesia umumnya dan
Tanah Jawa khususnya dapat disejajarkan denan pengaruh kesopanan dan
kebudayaan dari bangsa Romeinen diseluruh Europe.Antara rombongan bansa
Hindu yang datang kemari, terdapat juga keturunan dari Warman Dynasty,
yang selanjutnya diangkat menjadi Raja Hndu di Pulau Jawa yang
pertama-tama, dengan memakai nama Kerajaan Tarumanegara, sedangkan Raja
tersebut bergelar Purna Warman.Selain di Pulau Jawa, daerah lainpun
seperti Kutai, Sukadana, Palembang dan lain-lain bagian dari kepulauan
Indonesia mereka mengangkat juga raja-raja yang diangkat bangsa Hindu
turunan dari Warman guna memerintah daerah-daerah yang dikunjungi.Waktu
itu agama Hindu yang berkembang pertama kali adalah Brahmanisme,
dimana tingkat derajat profesi manusia terbagi menjadi empat golongan.
Golongan
pertama adalah Brahmana, ialah terdiri dari kaum Pendeta yang
dipandang sebagai kaum cardinal.Golongan kedua adalah Satriya, ialah
terdiri dari kaum Bangsawan.Golongan ketiga adalah Wasea, ialah terdiri
dari kaum dagang, petani, tukang dan pekerjaan yang agak
tinggi.Golongan keempat adalah Sudra, ialah tediri dari kaum buruh
rendah dan kaum budak.Jadi pada saat itu sudah terjadi system
pendidikan yang professional untuk masing-masing profesi yang dibagi
menjadi empat golongan profesi dalam masyarakat. Sama halnya dengan
jurusan professional dalam pendidikan moderen sekarang ini.Tapi system
golongan professional ini tidak berjalan mulus karena golongan Sudra
sering mendapat perlakuan tidak adil, yang begitu nyata membedakan
tingkatan dan kaum.Lantaran adanya penyelewengan pelaksanaan system
golongan professional ini maka tidak heran Agama Buddha dapat disambut
dengan hangat sekali dari penduduk di Pulau Jawa, hingga bergantinya
Agama Brahmanism ke Agama Buddha yang terjadi dengan sangat damai.
Pada
Masehi tahun 414, Fahian, perantau bansa Tionghoa yang termasyur,
telah tiba di pulau ini bersama empat orang kawannya. Mereka selain
menjadi orang-orang Tionghoa pertama menginjakkan kakinya di sini dan
terus menurunkan keturunannya sehingga merupakan sebagian golongan
Tionghoa peranakan yang sebagai bangsa Asing, kecuali bangsa Hindu yang
pertama kali datang di pulau ini.Menurut diary (catatan harian) dari
Fahian, bahwa asal usulnya nama Pulau Jawa itu disatu fihak ada yang
mengatakan berasal dari syairnya Ramayana, seorang Hindu (pendekar
penyair) dalam bahasa Sanscrit yang telah hidup antara 300 tahun
sebelum Christus, dimana antaralain dalam sjair itu telah menguraikan “Jawadwipa”, yang artinya : Jawa = Pahala, dan Dwipa = Pulau, sehingga “Jawa Dwipa” yang telah menjadi namanya pulau ini adalah membawa arti “Pulau dari Pahala”
atau “Pulau Jasa”.Sementara menurut fihak lain ada dikatakan, bahwa
waktu pertama kali bansa Hindu datang kemari telah melihat tetanaman Juwawut,
semacam bahan makanan, juga dijual dipasar untuk bahan makanan burung
perkutut piaraan, yang bumbuh begitu subur dan gemuk sekali dipulau
ini, sehingga pulau ini dinamakan Juwawut dan penduduknya dinamakan Juwana.Kemudian oleh rombongan Tionghoa tadi, karena kata-kata Juwana mengandung suara huruf “Ju” = “Kasar” atau “Rendah kwalitasnya”, bahkan karena suara itu ditekan agak keras menjadi suara “Jao”
= “Bau Busuk” atau “Orang yang rusak moralnya”, maka untuk menandai
pelayaran Confucius tentang Tjiang Sim Pi atau teposeliro, orang
Tionghoa merubah kata “Juwana” menjadi “Wana” yang
bukan saja menjadi kata lebih singkat, tetapi artinya lebih baik bagi
orang Tionghoa umumnya dan golongan lain-lain yang mengerti huruf dan
bahasa Tionghoa.Sebutan “Wana” terhadap penduduk Pulau Jawa khususnya dan kepulauan Indonesia umumnya memiliki arti : Tanah yang subur;
tetumbuhan yang tumbuh dengan subur; dan kaya raya.Sebutan “Wana”
terhadap penduduk asli dari Tanah Jawa khususnya dan Indonesia umumnya
itu jelas sudah bukan berarti ejekan atau hinaan, karena maksud yang
benar dari kata-kata tersebut tak lain dan tak bukan adalah : Orang dari
negeri yang tanahnya subur atau kaya.Lebih jauh dari keterangan
tersebut, bukan saja orang-orang Tionghoa dalam zaman itu tidak suka
menghina golongan bangsa lain, bahkan sudah begitu hati-hati untuk
menjaga agar supaya dalam kata-katanya tidak sampai menyinggung
perasaannya golongan bangsa lain, yang mana terbukti dihapuskannya suara
kata “Jao” yang diartikan kurang baik.Sementara bukti atas kebenaran bahwa penduduk asli dikepulauan ini disebut Juwana, adalah dengan adanya nama kota Juwana,
suatu tempat di daerah Jawa Tengah terletak antara Pati – Rembang.
Menurut penuturan dalam zamannya Dempoawang (Sam Poo Twa Lang) waktu ia
sampai ditempat yang dimaksud diatas lalu menayakan kepada seorang
penduduk asli nama tempat tersebut, tetapi oleh penduduk setempat
menyangka tamu yang datang menayakan kebangsaanya (maklum belum bisa
bahasa Melayu yang sekarang disebut bahasa Indonesia serta jarang ketemu
orang Asing), maka dijawablah “Juwana”.Oleh karena itu maka tempat
tadi selanjutnya disebut Juwana hingga saat ini menjadi perkampungan
Nelayan yang sukses di Kabupaten Pati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar